Kemarin ini sempat menginap di satu penginapan di Banyuwangi yang banyak disantroni bule-bule. Saya sendiri dibikin penasaran lantaran foto-fotonya di google yang bikin saya melongo.
Betapa tidak. Kamu bayangkan saja, dari depan kamar kita bisa melihat macam-macam pepohonan. Dapur terletak di luar halaman di dekat taman, dengan meja dan bangku kayu untuk leyeh-leyeh. Jalanan ditatah dengan batu-batu hias. Weleh-weleh.
Sementara bagian dalam kamar begitu eksotis dengan tembok tanpa plester alias hanya berdinding batu bata merah. Dengan pilar-pilar di sudut ruangan berwarna putih. Bagai bangunan kuno yang berdiri ratusan tahun silam.
Dugaan saya, si empunya hotel kepingin menciptakan kesan klasik, kuno, dan merakyat. Sehingga tamu yang bermalam di sana merasakan sensasi seperti tinggal di rumah masyarakyat Jawa kuno. Merasakan sesuatu yang gak pernah mereka rasakan di tanah airnya.
Tapi kesan kuno itu agak bertentangan dengan kemewahan yang disajikan dalam kamar tersebut. Lha, mosok kasur spring bed yang empuk bak kasur raja dan AC dingin semliwir dipadankan sama dinding merah gak berplester.
Kok rasanya kurang sreg. Seenggaknya buat saya. Kalau soal rumah rakyat Jawa kuno sih saya rasa rumah saya lebih pantas dijadikan percontohan. Dinding sudah pada mrupul dan kelihatan bata merahnya. Kasur tanpa alas ranjang alias langsung menyentuh tanah. Angin cuma mengandalkan jendela. Nah…. cocok toh?
Saya rasa kasur kapuk dan angin gelebug lebih cocok untuk penginapan itu. Tapi yah… barangkali itu kelewat nyata. Toh yang diinginkan bule-bule itu adalah nuansa kuno, nuansa rumah rakyat Jawa. Bukan rumah kuno, bukan juga rumah Jawa. Cuma sekedar nuansa.