Pagi-pagi sudah dandan rapi. Baju yang biasa kumal, sekarang disetrika. Biasa sandal jepit, sekarang sepatu. Pokoknya yang tadinya biasa jadi luar biasa. Bukan mau menjemput pacar, apalagi melamar kerja. Saya cuma kepingin nengok motor impian saya di dealer.
Nengok doang, beli sih ntar dulu.
Kawasaki Versys X Tourer 250. Mengingat namanya jauh lebih gampang ketimbang mengingat harganya. Perasaan tahun lalu harganya masih tujuhpuluh dua juta kok sekarang sudah tujuhpuluh tiga juta. Dan masih belum kebeli juga. Weleh…
Harga makin tahun makin naik, sementara penghasilan masih diam di tempat – persis kayak Versys yang masih diam di dealer.
Kadang saya mikir, kenapa ya disebut motor impian? Apa lantaran terlalu jauh di angan sampai-sampai nyaris mustahil dicapai? Atau lantaran hasrat yang demikian menggebu sampai-sampai terbawa mimpi? Atau dua-duanya?
Tapi justru mimpi inilah yang bikin saya terbangun di pagi hari. Yang bikin saya berdandan rapi. Yang bikin saya semangat. Karena kalau mau mengejar mimpi ya mau gak mau mesti bangun lebih dulu. Mosok sambil ngelindur.
Belum pernah saya menjajal mesin berkapasitas 250CC. Terkadang saya membayangkan diri saya membelah hutan bersama motor ini. Melalui jalanan kecil beraspal. Merasakan getaran mesinnya yang bikin hati adem. Merasakan shockbreaker-nya yang empuk. Merasakan satu cita rasa yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.
Saya rasa itulah arti mimpi.
Apa gunanya hidup kalau cuma mengejar mimpi-mimpi yang biasa. Mimpi-mimpi melempem yang begitu mudah dicapai dan gak bikin kita bergairah.
Sekedar menyambung nyawa dari hari ke hari. Sekedar makan, kerja, tidur, dan terus berulang seperti itu. Apa gunanya hidup seperti itu?
Barangkali mimpi itu kayak busi. Kalau ia terlalu dingin, mesin jadi susah hidup. Kalau terlalu panas, mesin malah terasa berat.