Ada yang tak wajar dengan Hutan Pinus Takata siang itu.
Hutan Pinus Takata di Rikuzentakata, prefektur Iwate, letaknya tak jauh dari perkotaan. Bahkan jika berdiri dalam gedung yang cukup tinggi, dapat terlihat pohon-pohon itu menggemulai mengikuti angin bertiup. Dan kalau beruntung, jika tak ada polusi suara dari kendaraan yang berseliweran, sesekali terdengar gemersik daun-daun pinus yang tertiup angin dan decit tupai yang asyik bermain.
Namun siang itu burung-burung yang biasa hinggap di dahan sembari bersenandung mencoba mencari jodoh, kini terlihat berterbangan kesana-kemari seolah tanpa tujuan. Tupai-tupai pun terlihat berlompatan dari satu dahan ke dahan lain, padahal belum waktunya makan.
Matahari mulai menua ketika bumi terasa bergoncang hebat. Tanah pada terbelah, sementara rumah-rumah dan gedung-gedung di sekitar Hutan Takata roboh tanpa perlawanan. Tembok-tembok semen gemetar, terpercah, lalu sekonyong-konyong runtuh. Bagian atap yang kehilangan fondasi segera menyusul tersungkur ke tanah. Gedung-gedung tinggi runtuh begitu saja layaknya istana dari kartu remi yang ditiup angin.
Tak cuma hutan beton, Hutan Pinus di seberang kota bakal segera mengalaminya. Pinus memiliki akar yang cukup dalam, walau tak sedalam pohon Bambu. Sekedar gempa bumi takkan menumbangkan pohon yang ramping bak tiang listrik ini.
Tiga puluh menit berlalu. Laut yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari hutan Takata, mulai bergejolak. Ombak mengamuk menghantam pesisir pantai hingga menimbulkan suara seperti ledakan. Jeritan manusia-manusia yang berlarian kesana kemari hilang ditelan gemuruh ombak. Awalnya ombak hanya menyapu di pesisir pantai, tapi ia tak puas sampai di sana.
Air yang semula biru kini bercampur keruh dengan tanah, pasir, potongan-potongan kayu, dan sisa-sisa bangunan hancur. Ombak makin menggila, mungkin hampir setinggi Pohon Pinus, dan mulai merendam bagian pemukiman. Pelan-pelan lumpur kecoklatan itu menelan segala yang ada di depannya. Tak peduli rumah beton atau gedung tinggi, semua dilumat seolah tak ada arti.
Tak lama lagi, akan datang giliran Pinu-Pinus di Takata untuk mempertahankan wilayah di belakangnya dari gempuran Tsunami. Dari kejauhan terlihat lumpur kental dingin bergerak mendekat membawa reruntuhan beton, kayu dan segala macam sampah yang terbawa.
Dalam sekejab mata lumpur coklat itu sudah menghujam tepat ke arah pohon-pohon pinus itu berdiri. Pinus yang cepat tumbuh menjulang ke arah matahari, cepat pula tumbang tersungkur menuju tanah yang gelap. Barisan luar pohon-pohon itu mulai berjatuhan tanpa ampun. Dihajar potongan kayu, dihajar runtuhan beton, dan digerus lumpur yang dingin.
Akarnya yang tak seberapa dalam tercerabut dari tanahnya dan mati saat itu juga. Satu demi satu mereka berguguran sementara lumpur dingin itu tak henti-hentinya berdatangan dari arah samudra luas. Satu, dua, tiga, empat…. Hanya dalam kedipan mata Pinus yang jumlahnya ribuan itu bertumbangan tanpa daya.
Mungkin jika memiliki mata seekor elang dan melihat dari angkasa sana, pinus-pinus ini terlihat bak susunan kartu domino yang roboh berurutan. Tapi, tepat di tengah rumpunan pohon, ada satu pohon yang tetap tegak berdiri seolah tak terganggu. Tak bisa dibilang itu pohon yang tertinggi atau terbesar, namun sepertinya ia-lah titik sang inti. Sang raja. Seolah Pinus-Pinus di sekelilingnya mencoba melindungi sang raja dari hantaman lumpur yang murka tanpa sebab.
Sang raja tak bisa tidak melihat pinus-pinus lain berguguran di sampingnya. Perlahan tapi pasti hantaman air bercampur sampah merobohkan dan menggerus kawan-kawannya. Bisa jadi sang raja pun ingin tumbang dan mati saat itu juga. Karena lebih menyakitkan melihat pinus-pinus lainnya bertumbangan daripada tumbang itu sendiri. Tapi ia tak boleh tumbang.
Karena ia-lah sang raja. Ia-lah alasan ribuan pinus lainnya hidup dan berdiri. Ia-lah yang memberikan kehidupan dan penghidupan pada ribuan pinus lainnya.
Matahari yang makin memerah memantulkan warnanya pada lumpur yang terus bergerak ke arah utara. Dari kejauhan lumpur itu lebih menyerupai darah kental yang tak hentinya mengalir.
Ketika akhirnya kegelapan tiba, ketinggian air sudah mereda. Lumpur yang siang tadi terlihat begitu ganas, kini hanya meninggalkan puing-puing kehancuran. Biar begitu, keheningan terasa memekakkan telinga. Tak terdengar suara binatang-binatang malam di hutan pinus Takata. Tak terlihat tupai-tupai berdecit dan berlompatan bermain-main dengan buah pinus sang raja.
Malam menyelimuti dengan kegelapan yang pekat dan kental. Sang raja menyadari bahwa ia bahkan tak lagi mendengar gemersik dedaunan para temannya. Ia hanya seorang diri. Ditinggal pergi oleh teman-temannya yang lebih dulu mati untuk [dan bersama] dirinya.
Kini sang raja berdiri seorang diri.
#####
Konon beberapa waktu kemudian, beberapa manusia mulai mendirikan pagar yang indah di sekeliling sang raja. Layaknya mahkota bagi sang pemenang. Dan banyak lainnya mulai datang memuja, sebagian lainnya melantunkan doa entah pada siapa.
Namun sang raja tak mengerti apa arti semua itu. Ia kehilangan tupai-tupainya, ia kehilangan burung-burungnya, dan terlebih lagi ia kehilangan teman-temannya.
Jika menjadi yang terhebat berarti menjadi sendiri, ia tak yakin lagi apa makna semua ini.