Chris McCandless – Sang Legenda yang Berkelana untuk Tersesat (PART 1)


Chris McCandless -- 300JAM

Dia adalah Chris McCandless. Itu foto terakhir yang diambilnya sendiri. Beberapa hari sebelum kematiannya. Wajah nampak tirus, tulang pipi dan pelipis nampak menonjol. Ketika mayatnya ditemukan, bobotnya hanya 32 kilogram. Tapi Chris masih mengumbar senyum, sembari menggenggam tulisan yang isinya:

SAYA MENJALANI HIDUP BAHAGIA DAN PUJI TUHAN. SELAMAT TINGGAL DAN SEMOGA TUHAN MEMBERKATI KALIAN SEMUA!

Ada pepatah mengatakan, ketika kematian tersenyum pada kita, yang bisa kita lakukan hanyalah membalas senyumannya.

Saat foto ini diambil, Chris menyadari bahwa tak lama lagi ia bakal mati. Tubuhnya terlalu lemah untuk berburu. Makanan yang dimakannya beracun, dan ia sekian mil jauhnya terpisah dari peradaban. Pendek kata, Chris sedang meyongsong kematian.

Jarang ada orang yang menyambut kematian dengan senyuman. Bahkan mereka yang ngoceh soal agama dan tuhan pun akan gemetar ketika menghadapi kematian. Tentu ada yang tak biasa dalam diri pemuda 24 tahun ini!!

ALASKA. Satu tujuan yang sudah terpatri semenjak dini. Di kala kecil, ayahnya kerap mengajak Chris mendaki gunung dan berkemah di sana. Dan ketika menjejaki bangku SMA, Chris sudah mencoba dan bertekad untuk menjelajahi Alaska. Atau mungkin juga Chris terlalu banyak membaca buku-buku Jack London. Tanpa meyadari bahwa penulis yang sering mabuk-mabukan itu hanya pernah satu kali ke Alaska dan mati menyedihkan di balik meja dengan tubuhnya yang obesitas.

Tapi pergi ke Alaska bukanlah sekedar cita-cita. Itu adalah satu bentuk pemberontakan. Pemberontakan terhadap kefanaan, kepalsuan, kemunafikan, ketidak-adilan. Pemberontakan terhadap lingkungan masyarakat yang saling memakan dibalik kedok kebaikan. Dan terutama pemberontakan terhadap kedua orang tuanya.

AKU MEMBERONTAK MAKA AKU ADA.

Chris lahir dari keluarga berada walau tak bisa dibilang bahagia. Pasangan Walt dan Billie McCandless membangun usaha mereka di rumah. Mereka mulai bekerja sebelum matahari terbit dan selesai berkerja setelah matahari terbenam. Ketika Chris bangun, ia menjumpai orang tuanya tengah bekerja, dan ketika Chris mau tidur kedua orang tuanya masih juga bekerja. Tak pernah ada waktu untuknya.

Kedua orang tuanya berusaha menggantikkan waktu yang seharusnya dihabiskan bersama itu dengan membelikan barang-barang mewah. Bahkan ketika Chris lulus SMA, Walt membelikannya mobil baru, yang kontan ditolak oleh Chris. Pemuda yang doyan membaca sastra Rusia ini merasa apa yang dimilikinya sudah lebih dari cukup. Dan kemewahan merupakan sesuatu yang tak perlu.

Luka menjadi semakin dalam ketika Chris mengetahui bahwa ia dan adiknya bukanlah anak yang sah dari Walt McCandles. Walt memiliki istri pertama yang sah dan telah memiliki 6 orang anak, yang sampai saat itu tak diketahui Chris.

Hubungan orang tua dan anak ini pun semakin merenggang. Dan Chris mulai menjauhi kedua orang tuanya. Sepertinya dalam buku-buku Jack London, dalam alam liar, ia menemukan idealitanya. Sesuatu yang mendekati sempurna dan benar-benar berbeda dari alam nyata.

Oleh karenanya pergi ke Alaska bukanlah sekedar cita-cita.

Alaska adalah tempat ziarah bagi mereka yang berjiwa petualang. Dan banyak sudah petualang yang mati di sana. Karena terkadang, petualangan itu nampak indah dalam bacaan, tapi sangat brutal dalam kenyataan.

Pemuda asal California ini pergi ke Alaska setelah sebelumnya berpetualang ke beberapa kota dan berkenalan dengan banyak orang di sana. Telah lama ia pergi tanpa identitas. KTP dirobek, uang dibakar, kemapanan hanyalah kedangkalan. Chris bahkan mengganti namanya menjadi Alexander Supertramp. Dan dengan nama itu ia terus mengejar idealita-nya.

Berjalan kaki layaknya backpacker menuju utara sambil sesekali menumpang truk atau mobil yang lewat. Hingga akhirnya sampai di Fairbanks. Sebuah daerah di bagian barat Alaska yang kala itu sedang musim salju.

Di jalan, ia berkenalan dengan Gallien, supir truk. Mendengar niat Chris untuk mengembara ke Alaska, Galien benar-benar dibuat heran. Lantaran peralatan yang dibawa Chris jauh dari memadai. Hanya jaring murahan untuk menangkap ikan, 10 pound beras, senapan kaliber .22 yang takkan mampu membunuh beruang Grizzley, sebilah pisau machette, dan setumpuk buku bacaan.

Gallien berulang kali mencoba membatalkan niat Chris, karena dengan kelengkapan seperti itu resikonya sangat besar. Namun Chris mengabaikan. Chris bahkan sesumbar bahwa ia bisa bertahan sebulan hanya dengan 2,5 kilogram beras.

Perbekalan yang dibawa mungkin tak memadai, tetapi ia bukan ke sana untuk mati. Ia ke sana untuk hidup.

Sesampainya di Stampede Trial, Chris turun. Gallien memberinya sepasang sepatu boot anti air, mungkin karena kasihan. Awalnya Chris menolak dan berniat membarter sepatu itu dengan jam tangan. Namun Gallien memaksa. “Kamu boleh kembalikan bootnya sepulangnya dari Alaska nanti,” ujar Gallien.

Dari sana Chris berjalan terus menuju utara.

Di tengah tundra yang terasing itu Chris menemukan sebuah Bus tua tak bermesin yang telah lama ditinggalkan pemiliknya. Bus bernomor 142 yang kelak ia sebut dengan Magic Bus. Bermil-mil jauhnya dari peradaban.

Keinginan kecilnya tercapai. Ia hidup seorang diri di alam liar, bersama hewan-hewan dan segala macam tumbuhan.

Keterasingan bisa berarti dua hal. Bisa berarti pelarian seorang invalid, atau bisa juga pelarian dari orang-orang invalid. Di tempat terasing itu Chris bebas menjadi dirinya. Terbebas dari kebanalan hidup, kemunafikan, dan terutama dari orang tuanya.


Leave a Reply

Your email address will not be published.

Facebook9