Chris McCandless – Saya ke Sana Bukan untuk Mati, tapi untuk Hidup (PART 2)


Keterasingan bisa berarti dua hal. Bisa berarti pelarian seorang invalid, atau bisa juga pelarian dari orang-orang invalid. Di tempat terasing itu Chris bebas menjadi dirinya. Terbebas dari kebanalan hidup, kemunafikan, dan terutama dari orang tuanya.

Bus berkarat dengan kaca-kaca jendela yang sudah pecah itu terbilang cukup nyaman, apalagi bagi seseorang yang biasa menghabiskan hidupnya di dalam tenda. Sekalipun bau lumut basah dan besi karat langsung menyergap sewaktu pintu dibuka, namun kendaraan tak bermesin ini masih layak ditempati.

Tungku pemanas yang juga bisa digunakan sebagai kompor nampak janggal berdiri di tengah-tengah kabin bus. Beberapa camper pun pernah berkemah di situ sebelumnya. Terlihat dari beberapa perkakas yang tertinggal. Garpu, sendok, gelas pecah, serta korek api yang masih menyala.

Selebihnya Chris menghabiskan hari-harinya dalam bus itu. Setiap kegiatan dicatat dalam sebuah jurnal singkat. Makanan didapatkan dengan cara berburu tupai, landak, burung dara, dan bahkan rusa. Kamu hanya makan apa yang kamu buru. Tidak ada kulkas di sini, jangan harap mengawetkan makanan. Pernah Chris mencoba membuat dendeng, tapi gagal dan akhirnya makanan itu pun membusuk.

Terkadang segerombolan serigala berarak ke daerah situ, ikut berlomba mencari hewan buruan. Dan bahkan beruang Grizley, yang jika berdiri tingginya melebihi tinggi manusia, sesekali mendekati wilayah itu, namun segera menemukan jalan pulang. Untungnya tak satupun dari hewan buas itu yang tertarik pada tubuh kerempeng Chris.

Begitulah hewan, mereka hanya memangsa apa yang diperlukan dan hanya membunuh jika merasa dalam bahaya.

Sendiri di padang tundra nan luas ini Chris menemukan dirinya. Dari buku-buku Tolstoy dan Pasternak ia banyak mendapatkan inspirasi. Seiring dengan berjalannya hari, musim pun berganti. Tetumbuhan yang semula dibedaki salju, kini mulai menunjukan warna aslinya. Bunga merah, jingga, dan magenta bermekaran di sekitar bus-nya. Tapi harus tetap waspada karena ada beberapa jenis tanaman yang cukup langka dan berbahaya.

Dari jurnal yang ditulis, bisa disimpulkan bahwa Chris menikmati kehidupannya di sana. Kata-kata sarat optimisme kerap tergores dalam kertas.

Setelah sekitar 2 bulan tinggal di sana sepertinya Chris menemukan apa yang ia cari dalam kehidupan. Mungkin menyendiri di dalam hutan dan berbahagia bersama hewan dan mahluk hidup lainnya bukanlah jawaban. Mungkin kebahagiaan adalah sesuatu yang mesti dibagi. Persis seperti kata Pasternak dalam bukunya Dr. Zhivago:

“KEBAHAGIAAN HANYA NYATA KETIKA IA DIBAGIKAN”
(tulisan dalam buku ini digarisi oleh Chris)

Seolah mendapat pencerahan, hari itu Chris memutuskan untuk turun gunung.

Namun rencananya tak berjalan lancar.

*****

Bulan Juli kala itu sungai Teklanika yang memisahkan tempatnya berdiri dengan peradaban di luar sana sedang meluap-luap. Arusnya menderu, terlalu deras untuk diseberangi. Apalagi Chris bukan perenang yang baik. Ia terpaku sesaat, menghela nafas sesaat, lalu terpaksa kembali.

Bus hijau putih berkarat dengan kaca yang sudah banyak pecah kembali menyambutnya.

Dalam jurnal ia mencatat,

“Bencana…. Hujan turun. Sungai tak mungkin diseberangi. Kesepian dan takut.”

Sebetulnya ini bukan hal besar bagi Chris. Toh ia sudah terbiasa dengan kehidupan liarnya di sana.

Tapi mungkin juga tidak.

Bencana sebenarnya muncul dari apa yang ia makan. Dari apa yang ditulis dalam jurnalnya, diketahui bahwa selain berburu, Chris juga mengkonsumsi kentang liar yang ada di sana. Beberapa sumber menyatakan bahwa Chris mengkonsumsi kentang beracun dan itulah yang menyebabkan tubuhnya menjadi lemas tak berdaya.

Tapi itu jauh dari kebenaran! Penelitian terbaru yang dilakukan Jon Krakauer menyatakan bahwa Chris tak cukup bodoh untuk gagal membedakan mana kentang beracun dan mana kentang tidak beracun. Sebaliknya, kematiannya diduga akibat dari lumut yang menempel pada kentang itu.

Lumut itu mengandung Mycotoxin yang akan menyebabkan penderitanya mengalami depresi, diskoordinasi otot dan syaraf, kepanikan, pandangan kosong, dan bahkan kesulitan dalam makan dan minum.

Racun itu takkan berakibat fatal jika hanya termakan sedikit. Tubuh yang sehat bisa melawan racun itu selama tubuh memiliki suplai glukosa yang cukup untuk mengikat racun itu dan membuangnya melalui urine. Masalahnya Chris telah mengkonsumsi kentang itu dalam jangka waktu yang cukup lama. Tak hanya itu, suplai glukosa dan gizi lain yang terdapat dalam tubuh Chris benar-benar defisit.

Setelah lebih dari tiga bulan menetap di sana, ternyata alam liar terbukti terlalu liar baginya. Racun dalam tubuh membuat Chris lemah tak berdaya. Bahkan terlalu lemas untuk bergerak. Tak lagi dapat berburu, dan bergerak hanya karena didorong oleh kehendak untuk tetap hidup.

Lantaran tak dapat berburu, Chris hanya memakan buah-buah beri liar yang tumbuh di sekitar bus. Yang mungkin juga beracun.

Racun yang terus mengendap dan tak dapat dikeluarkan dari dalam tubuh pun mulai membunuhnya perlahan. Dan Chris pun sadar akan hal itu. Tubuhnya yang terus menerus kehilangan bobot terlihat bagai seonggok tulang yang bergerak.

Beberapa hari menjelang kematiannya, Chris menyadari saatnya hampir tiba.

Ia mengambil satu foto terakhir.

Foto yang kamu lihat di awal (PART 1).

Setelah itu kembali masuk ke dalam bus.

Naik ke atas kasurnya yang apek berdebu.

Meringkuk ke dalam sleeping bag jahitan ibunya.

Dan menyongsong kematiannya dengan tersenyum.

Ketika kematian tersenyum pada kita, kita hanya bisa membalas senyumannya.


Leave a Reply

Your email address will not be published.

Facebook9