Roda Dua dan Roda Dunia


Akhir pekan. Pagi hari. Ketika matahari belum terbit sepenuhnya, saya sudah menggilas jalanan bersama motor saya. Angin menghembus kencang melewati mesin 150CC yang menderu mengikuti tarikan tuas gas. Belum terlihat kendaraan berlalu-lalang. Hanya saya dan motor saya.

Mendekati akhir pekan begini rasanya baut-baut dalam kepala sudah pada longgar dan koclak semua. Kalau dipaksakan bisa-bisa bautnya pada kocar-kacir, atau mungkin juga dol dan tak bisa dipakai lagi. Jadi mau tak mau, saya mesti mengambil waktu sejenak untuk sendiri. Mencoba mengencangkan kembali baut-baut yang sudah kendor.

Mentari sudah meninggi ketika saya melewati rumah-rumah tinggi dengan cat serba putih yang menyilaukan mata. Bangunan-bangunan bergaya Bauhaus yang serba kotak. Sederhana, di saat yang sama terlihat elegan. Gaya minimalis khas perkotaan. Begitu sistematis dan tertata rapih. Persis seperti kehidupan kota, yang segalanya serba teratur.

Kehidupan di kota memang begitu cepat. Kita tak cuma berurusan dengan sesama manusia tapi juga dengan mesin, teknologi, bahkan robot. Tak ada waktu untuk duduk diam barang sejenak, ngopo-ngopi bareng kerabat, atau sekedar sanggama karena konak. Tidak. Semuanya serba cepat, serba terjadwal, serba terususun rapih.

Ini hari melakukan ini. Jam segini harus melakukan itu, siang ini harus begini, sore nanti harus begitu. Segalanya berjalan sangat cepat. Bahkan saya mulai bertanya-tanya, apakah kita sudah menjadi robot?

Lucunya, bahkan setelah bekerja sedemikian cepat, kita masih juga kalah cepat dengan putaran roda dunia. Benar adanya istilah “dunia tak pernah tertidur”. Sementara kita asyik tidur, roda dunia tetap berputar. Karena selain kita, masih ada mesin lain di penjuru sana yang turut menggerakkan roda dunia. Dan ketika kita terbangun, roda dunia masih juga tetap berputar.

Rasanya tak mungkin mengejar cepatnya roda dunia. Kalaupun coba dikejar bisa-bisa bukan cuma baut-baut di kepala saja yang berloncatan, tapi semua onderdil dalam badan ini bakalan berlepasan tak karuan.

Kita seumpama motor Honda C70 yang hendak mengikuti balapan di lintasan MotoGP. Tak bisa menang memang, tapi setidaknya bisa menikmati.

Setelah agak lama berkendara, tak terasa pemandangan di sekitar saya sudah berganti. Rumah-rumah mewah yang semula serba teratur, putih dan minimalis kini berganti dengan rumah-rumah udik warna-warni. Tak bertingkat namun terlihat asri. Gilanya lagi, tak berpagar! Satu pemandangan yang jarang saya lihat di perkotaan.

Antara rumah satu dengan rumah lain diselingi pekarangan dengan pepohonan besar. Entah milik siapa tanah itu, mungkin milik bersama.

Lama kelamaan perumahan yang diselingi pepohonan itu kini menjadi pohon-pohon tinggi yang diselingi rumah-rumah penduduk. Kaca helm saya buka. Hawa sejuk dan tiupan angin kontan menggelitik telinga saya. Membuat suara motor kian hilang ditelan angin.

Enak rasanya berkendara sendirian macam begini. Mesin motor berpacu, mesin dalam kepala diistirahatkan. Dan kayaknya ada kesamaan antara mesin motor tak ber-radiator ini dengan mesin dalam kepala saya. Keduanya tak bisa digeber seharian. Lantaran sistem pendinginannya masih primitif, yang satu mengandalkan angin, yang lain mengandalkan uang.

Kalau dipaksa juga, bisa berabe. Mesin overheat, jebol, terus mesti servis besar. Bisa-bisa makan gaji sebulan. Masih mending kalau cuma mesin motor yang jebol, kalau mesin dalam kepala yang jebol, bukan cuma gaji sebulan yang habis. Bisa jadi saya tak bakalan dapat bayaran lagi.

 


Leave a Reply

Your email address will not be published.

Facebook9