Tragedi Boyolali


Hari sudah agak gelap. Sekalipun rintik, hujan sama sekali gak berhenti. Sejak siang tadi jas hujan terus saya kenakan. Si Ceplu, motor saya, nampak sudah kelelahan setelah digenjot dari pagi tadi. Berhenti hanya jika lelah dan perut lapar.

Menuruni perbukitan Selo, saya coba buka Google Map, namun hanya menunjukan layar putih. Sinyal di hape menunjukkan X, yang artinya gak ada sinyal. Sepertinya ponsel pintar menjadi dungu di atas sini. Saya terus mengambil jalan menurun berharap bisa menemukan kota di bawah sana.

Berhubung gak tahu mesti kemana, saya terpaksa bertanya pada penduduk sekitar.

“Permisi Pak, ini kalau mau ke Salatiga lewat mana?”

“Oh, muter balik ke atas, Mas.”

“Ke arah pegunungan tadi?”

“Iya, lewat sana lebih deket, tapi mas nya harus membelah gunung.”

Membelah gunung? Gawat pikir saya. Sewaktu berangkat siang tadi saya sudah membelah gunung. Kehujanan pula. Sekarang kalau harus lewat jalur situ lagi bisa celaka. Mana stamina sudah hampir habis. Belum lagi longsor yang sempat terjadi di atas tadi. Saya bahkan terpaksa berhenti berkali-kali lantaran takut terkena longsoran tebing.

Hari sudah gelap, kayaknya sebentar lagi adzan magrib berkumandang. Sementara saya masih jauh dari tujuan.

Si Ceplu terus dipacu ke selatan ke arah kota. Dengan harapan jalan lebih bagus dan petunjuk kota lebih jelas. Tak mengapa mengambil jalan memutar selama jalan itu lebih aman. Kalau sudah gelap begini harus cepat-cepat cari penginapan. Soalnya saya berada di tempat yang sama sekali asing, dan tak tahu apa yang bisa terjadi di malam hari.

Di kiri kanan masih dihuni hutan, cuma sesekali diisi rumah penduduk. Jalan berganti dari aspal ke tanah. Berlubang pula. Beberapa kali kecepatan mesti dikurangi lantaran lubang-lubang dalam yang tertutup air.

Gejluk… Gejluk…. Shock breaker si Ceplu benar-benar diuji di sini.

Sedang enak-enak jalan tiba-tiba smartphone yang dijepit holder pada stang motor loncat dari cangkangnya dan jatuh ke jalan. Tuas rem langsung saya tarik!

Saya langsung berlari ke arah hape, takut-takut kalau kemasukan air. Kacanya pecah di sudut kanan atas dan kiri bawah, sementara punggungnya penuh dengan baret. Begitu tombol power ditekan, jantung saya berhenti! Hape saya mati sama sekali!

Saya tertegun. Menghela nafas. Mencoba menenangkan pikiran yang mengeruh. Berdiri sendirian di tempat asing, tanpa peta, tanpa telpon, dan hari sudah gelap. Benar-benar lengkap penderitaan ini.

Tanpa peta dan smartphone, mau gak mau saya mesti secepatnya menemukan hotel yang sejalan dengan arah saya. Dan seringkali pengganti peta yang paling akurat adalah bapak penjaga warung, penjaga pom bensin, dan juga satpam. Jadi begitu ketemu pom bensin saya langsung melipir dan bertanya, ke mana arah terdekat menuju Salatiga dan apa ada hotel di dekat sini.

Setengah jam lagi berlalu tanpa terasa. Dan kayaknya saya makin dekat dengan kota, karena beberapa kali saya berppapasan dengan serentetan truk pengangkut barang. Seenggaknya saya sudah berada di jalur yang benar, begitu pikir saya. Sekarang tinggal cari penginapan. Biasanya kalau ada truk, ya pasti ada penginapan.

Benar saja, gak lama saya melihat sebuah hotel. Cukup besar. Namun anehnya hampir gak ada mobil terlihat di sana. Di depan kamar hanya berdiri motor-motor. Dan begitu memasuki area hotel pun saya langsung digiring menuju kamar tanpa ditanya dulu mau kamar yang seperti apa.

“Mas, saya mau nanya harganya dulu.” Harga menjadi faktor penting mengingat dompet yang kian menipis.

Dengan wajah keheranan si Mas langsung membawa saya ke lobi depan. Sebetulnya gak bisa disebut lobi juga, hanya sekotak ruang dengan meja tamu dan kipas angin yang terus menyala sekalipun cuaca di situ lumayan dingin. Setelah itu sang pemilik hotel mulai bertanya, mau singgah atau menginap?

“Apa bedanya?”

“Kalau singgah paling lama 5 jam, kalau nginap 1 hari.”

Dalam hati saya terkekeh. Pantas saja kebanyakan pakai motor, rupanya ini hotel tempat begituan. Tapi ketimbang kedinginan di jalan dan nyasar entah kemana, akhirnya saya pesan satu kamar non-AC tapi dengan air panas. Siapa pula yang mau kamar ber-AC di cuaca dingin macam begini.

Saya diantar ke kamar. Yah kamarnya tidak buruk.

Ranjang springbed dengan seprai yang sepertinya gak diganti dulu sebelum ada tamu baru. Karena aroma tubuh manusia masih mengambang dari atas seprai. TV yang kesemutan dan cuma memperdengarkan suara tanpa gambar yang jelas. Namun yang penting, air panas mengalir dengan lancar.

Saya sudah terlalu lelah untuk berpikir soal tv dan ranjang. Lebih baik langsung pergi mandi, makan, lalu tidur. Karena esok pagi perjalanan bakal dimulai lagi.

 
 
 


Leave a Reply

Your email address will not be published.

Facebook9