Gas dibetot dan gak sampai dua puluh menit saya sudah berada di jalur Congot. Satu jalur yang sepenuhnya lurus, tanpa kelokan, dan sangat monoton. Bukan cuma jalurnya saja yang monoton tapi juga pemandangan di kedua sisi. Di kiri kanan jalan dipadati dengan perkebunan. Pohon yang sama dengan warna dan ukuran yang sama. Serba seragam.
Sepanjang mata memandang, bahkan hingga ke garis horizon kamu hanya akan menemukan warna hijau.
Langit merah mulai menghitam. Dan binatang-binatang petang serupa nyamuk mulai berseliweran dan nyaris masuk matasaya. Kaca helm saya tutup sepenuhnya. Untung saja bening bukan hitam.
Sesekali serangga-serangga itu menubruk kaca helm dan meninggalkan cairan lengket pada permukaan. Namun bangkainya langsung hilang ditelan angin malam.
Peta si Mbah Google menunjukkan masih ada sekitar 40 kilometer yang masih harus ditempuh sebelum menemukan belokan pertama. Bayangkan 40 kilometer sebelum belokan pertama!
Di depan tak terlihat ada kendaraan. Bahkan di kaca spion pun hanya menampilkan jalanan kosong dan debu yang saya tinggalkan.
Tuas gas terpaksa saya kendurkan sedikit. Takut overheat. Deru mesin perlahan berkurang. Konyol memang. Saya kepingin cepat keluar dari jalur ini. Tapi jalan tercepat untuk keluar dari jalur ini justru dengan berjalan cukup lambat.
Bukan apa-apa, saya gak mau sampai mogok di tengah belantara begini.
Dari pertama masuk jalan ini, hampir gak ada rumah penduduk saya temukan. Kalaupun ada, jarak antara satu dengan lainnya bisa terpaut ratusan meter. Mogok di tempat ini bisa berakibat fatal. Siapa yang bakal menolong kamu? Rumah saja jarang, apalagi bengkel?
Kini langit sudah gelap sepenuhnya.
Pinginnya sih membetot gas. Tapi apa lacur, si Verza sudah kelelahan. Sudah dipaksa berlari sejak pagi tadi. Mau gak mau main aman di 40km/h.
Sebetulnya pemandangan di sini terbilang indah lho. Andai saja siang hari, saya pasti menikmati suasana di Congot ini. Perkebunan serba hijau yang memanjakan mata, langit biru cerah tanpa awan, suara angin mendayu-dayu. Persis kayak video-video di TikTok gitu. Biasanya kalau disuguhi pemandangan kayak begini kecepatan motor bakal melorot sampai 30 km/h.
Tapi sesuatu yang terasa indah di siang hari seketika berubah menjadi teror di malam hari. Padahal ini tempat yang sama, kondisi yang sama, cuma waktunya saja yang berbeda.
Di malam hari mulai terdengar satwa-satwa malam yang asing dan tak terhitung jumlahnya. Belum lagi ada bajing yang tiba-tiba melompat dari satu sisi jalan ke sisi lain dan nyaris tertabrak jika saja saya tidak segera menarik tuas rem. Ini semua membikin otot leher menjadi kaku. Seolah-olah kita harus selalu waspada.
Di tempat ini semenit serasa sejam. Dan saya terus bertanya-tanya, “Kok dari tadi baru tiga kilometer? Perasaan sudah lama banget.” Mau berjalan cepat takut, mau berjalan lambat juga takut. Serba salah.
Tapi sebagaimana semua mimpi, entah itu buruk ataupun indah. Semua pasti ada akhirnya. Jam-jam yang bikin leher kaku itu pun berlalu juga. Akhirnya saya sampai pada belokan yang telah lama saya tunggu-tunggu.
Setelah mencapai daerah “aman”, saya mulai bertanya-tanya, apakah Congot sebuah mimpi indah ataukah mimpi buruk? Dan apakah mimpi indah akan berubah menjadi buruk dalam waktu dan kondisi yang berbeda? Dan apa itu indah dan apa itu buruk?
Motor terus melaju. Hingga kini saya belum mendapat jawaban.