Beberapa waktu lalu saya sempat ngemah di Lembang sana. Bawa tenda, bawa kursi, bawa peralatan masak, dan bawa sesuatu buat dimasak. Kamu tahu sendiri, kalau lagi ngemah gitu paling enak ya masak sendiri. Biar kata cuma mie instan dan nugget bawaan, tapi kalau dimasak di gunung rasanya bakalan beda.
Sekitar jam lima peralatan masak saya siapkan. Panci dan wajan penggorengan dikeluarkan. Nugget, telur dan bumbu tambahan langsung nyemplung ke dalam wajan. Berikutnya Indomie kuah spesial langsung saya telanjangi dan saya mandikan dengan air panas dalam panci.
Sebelum matahari terbenam masakan sudah siap disantap.
Baru mau mengirim nugget ke mulut, saya merasa ada kurang. Mana cocolannya? Mana sambalnya?
Gak mau Indomie menjadi dingin, saya bergegas masuk ke dalam tenda mencari sambal bawaan. Sudah mengobrak-abrik kemana-mana gak ketemu juga. Akhirnya saya pasrah dan sadar kalau Sambal ABC saya tertinggal di rumah.
Sambal ABC ini sebetulnya bukan sambal luar biasa. Masih banyak yang lebih mahal, ada juga yang lebih enak. Tapi lantaran sudah kebiasaan pakai sambal ini, kalau sampai gak ada, rasanya ada yang kurang.
Apalagi kalau makannya nugget bareng Indomie. Wah, itu vital banget.
Makan nugget tanpa sambal itu ibarat jalan di padang pasir tanpa air putih.
Air putih sama itu sekali gak istimewa. Bahkan di rumah saya, air putih segalon saja kadang tersia-sia. Tapi segelas air putih di padang pasir bakalan jauh lebih berharga ketimbang segalon Coca Cola di rumah kamu. Benar apa nggak?
Nah, di saat ngemah dan makanannya nugget mau gak mau ya mesti ada Sambal ABC. Kalau gak ada sambal ya payah.
Jadi berdasarkan pengalaman ini (hanya pengalaman ini), saya menarik kesimpulan bahwa Sambal ABC adalah sambal paling enak — hanya jika ketika berkemah dan hanya jika sambal ini tak ada.
Karena toh sesuatu terasa sangat berharga ketika ia sudah tak ada.