Apa sih tujuan touring kalau bukan pergi dengan semangat dan pulang dengan selamat. Berangkat dari titik nol menuju ke satu titik dengan menggunakan jalur selatan, terus mengambil jalur utara untuk pulang kembali ke titik nol. Membentuk lingkaran 360 derajat.
Kenapa mesti 360 derajat? Ya gak mesti, tapi begitulah yang disarankan para sepuh. Tujuannya ya supaya kita bisa menikmati pemandangan yang berbeda dan gak itu-itu lagi. Mosok pulang pergi pakai jalur yang sama. Kok kayak ngantor?
Kadang di sepanjang jalan kita disuguhi sama pemandangan yang unik ciamik. Pemandangan yang gak bakalan kita temui di kota-kota besar. Rumah-rumah dengan cat warna-warni, kolam-kolam ikan yang diparkir di depan rumah, petani-petani yang sibuk, juga sawah-sawah yang mulai merunduk. Yah sebuah nuansa yang berbeda.
Belum lagi makanan-makanan khas daerah setempat yang maknyuuusss! Apalagi kalau main ke Jawa sana, wuihhhh…. Makanannya uenaaakkk tenaaaan! Sotonya lekoh-lekoh, Mie-nya bener-bener sugih roso, belum lagi gule kambingnya yang bikin mulut banjir liur dan badan banjir keringat — lantaran kuatir kolesterol naik. Di Jawa sana mulai dari warteg sampai resto, semua makanannya yahud, very good!
Tapi ya gak berarti perjalanan itu selalu menyenangkan lho. Adakalanya bencana yang gak diminta-minta tahu-tahu datang sungkeman. Ada-ada saja memang. Mulai dari jalan longsor sampai dengan ban bocor. Mau protes pun bingung, protes pada siapa? Mosok mau protes sama pemerintah? Wong alam saja gak mendengar, apalagi pemerintah.
Yah kurang lebih touring ini kayak kehidupan. Versi singkat kehidupan. Kalau kehidupan diumpamakan sebagai lingkaran besar, touring itu ya lingkaran kecil. Mas Butet bilang, “Irup mung mampir ngguyu.” Hidup itu cuma mampir ketawa. Sudah itu?
Ya mati.
Segala yang dibawa akan ditinggalkan. Segala yang dialami akan dilupakan. Segala yang pergi akan kembali.
Persis seperti Kala-Chakra.
Kala = Waktu
Chakra = Roda
