Langit sudah gelap ketika saya duduk sendirian di pendopo Sitinggil Muncul. Dari tempat saya duduk dapat terlihat gunung yang bentuknya menyerupai gajah tidur. Terbentang dari belalai hingga ke ekor. Mungkin itu sebabnya dinamakan Gunung Gajah.
Sambil menyeruput teh kental manis panas saya menerawang ke arah puncak gunung. Dibuat heran oleh lampu yang disorotkan ke langit dan bergerak kesana kemari layaknya lampu sorot Batman di Gotham City. Padahal itu di puncak gunung lho. Mosok mau manggil Batman?
Pakai lampu begitu paling-paling yang datang laron atau paling banter kalong, bukan Batman. Tapi apa pula tujuannya menyorotkan lampu sedemikian terang ke langit? Apa mungkin kode tertentu yang gak saya ketahui?
Lagi bengong-bengong begitu, tahu-tahu Mas Tebeng menyapa dari belakang.
“Oh… Mas Tebeng. Kebetulan,” ujar saya.
“Kebetulan kenapa?”
“Saya heran, di puncak sana kok ada yang pakai lampu menyorot ke langit?”
“Oh… Barangkali ada yang ngemah di sana.”
“Dipakai buat ngemah juga ya di sana?”
“Iya. Di sana setiap tahun suka ada perlombaan gantole.”
“Gantole?”
“Itu lho yang terbang pakai sayap berbentuk segitiga.”
Saya manggut-manggut, walau belum bisa menangkap bayangan yang sempurna.
Bayangan pertama yang muncul di kepala saya ya Batman-nya Christoper Nolan. Yang terbang menggunakan sayap mirip segitiga dari satu gedung ke gedung lain. Mungkin kayak gitu ya. Pantas saja ada lampu sorot macam Batman di atas sana.
“Mas Tebeng pernah ikutan toh?”
“Ikut apa?”
“Gantole.”
“Enggak, adik saya suka ikutan. Tapi saya nggak.”
“Gak kepingin Mas?”
“Kalau masih muda ya kepingin. Lha sekarang sudah ada umur begini, jatuh sedikit tulang pasti patah.”
Saya manggut-manggut lagi. Kali ini bayangan saya kembali pada Batman. Bukan pada Batman muda yang gagah dan gak kenal takut, tapi pada Batman yang sudah pensiun dari dunia per-batman-an. Sudah gak lagi membela kebenaran dengan jalan yang keras, tapi cukup keras untuk mengambil jalan yang benar.
Teh yang tinggal setengah kembali saya glugug.
